Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan » Republik Indonesia
Nyantrik merupakan serial yang menggambarkan proses belajarnya sembilan aktor dan aktris Indonesia di empat sanggar wayang orang yang masih berdiri di Indonesia, yaitu Wayang Orang (WO) Bharata Jakarta, WO RRI Surakarta, WO Sriwedari Surakarta, dan WO Ngesti Pandowo Semarang.
Dengan mengusung tema “Ketika yang Muda Belajar dari Panggung Wayang Orang”, Nyantrik menjadi program kolaborasi antara perwakilan generasi muda dengan para maestro wayang orang. Kata “nyantrik” sendiri berasal dari kata dalam bahasa Jawa kuno yang berarti berguru atau belajar.
“Selama proses pembuatan miniseri ini, prinsip-prinsip inti dari nyantrik ditekankan. Sesuai dengan filosofi nyantrik, para “cantrik” (murid) dilatih bukan hanya untuk melihat dan meniru apa yang dipertunjukan oleh mentornya, tetapi juga untuk memahami secara mendalam esensi dari apa yang mereka pelajari,” jelas Direktur Jenderal Kebudayaan (Dirjenbud), Kemendikbudristek, Hilmar Farid di Jakarta, Senin (7/8/2023).
“Program strategis Indonesiana.TV ini diharapkan dapat berperan penting dalam pengembangan dan pemanfaatan kebudayaan. Sebagai platform media, Indonesiana.TV menjadi jembatan antara seni tradisi dan generasi masa kini,” ujar Hilmar.
Disutradarai oleh Lasja F. Susatyo, Nyantrik menampilkan aktris dan aktor muda yaitu Kelly Tandiono, Samo Rafael, Clara Bernadeth, Karina Salim, Ravil Prasetya, Omara Esteghlal, Tatyana Akman, Cindy Nirmala, dan Daniel Adnan sebagai cantrik. Mereka belajar dan mendalami seni peran lakon Mahabarata dari para maestro seperti Kenthus Ampiranto dari Wayang Orang Bharata Jakarta, Ali Marsudi dari Wayang Orang RRI Surakarta, Wasi Bantolo pengajar ISI Surakarta, Agus Prasetyo dari Wayang Orang Sriwedari Surakarta, dan Nanang Hape selaku dalang dan penulis skenario.
Sejarah Wayang Orang
Program Nyantrik mensintesis beberapa proses perkembangan wayang orang. Wayang orang sendiri disinyalir merupakan bentuk seni pertunjukan yang berusia sangat tua. Beberapa catatan kuno seperti Prasasti Mantyasih (904 M) dan Prasasti Wimalasmara (930 M) telah menyebut pertunjukan ini dengan istilah Jawa Kuno, “hatapukan” atau “matapukan” dan “awayang wang”. Periode prasasti tersebut membuktikan bahwa kesenian ini sudah ada sejak zaman Mataram Kuno dan hanya dihadirkan bagi kalangan istana (keraton). Setelah itu wayang orang dimainkan pula di lingkungan kerajaan-kerajaan baru yang muncul di Jawa Timur, termasuk Majapahit.
Melalui perjalanan waktu, kemudian wayang orang dihidupkan kembali di era Mangkunegaran I (1760) dan Hamengkubuwono I (1750-an) dalam konteks pertunjukan ritual kenegaraan di dalam keraton ataupun untuk merayakan upacara-upacara penting. Namun, perubahan paling penting terjadi pada akhir abad ke-19. Seni pertunjukan ini keluar tembok keraton dan mulai dikemas menjadi pertunjukan komersial.
Tujuan Program Nyantrik
Zaman berubah, begitupun produk-produk kebudayaan yang ditantang untuk bisa mengikuti harapan akan bentuk-bentuk baru pengalaman estetis. Seni tradisi terancam ketika dalam proporsi tertentu keberadaannya tidak mengalami pengembangan.
Miniseri Nyantrik dibuat sebagai jawaban atas kegelisahan melihat kenyataan begitu lebarnya jarak antara seni klasik tradisi dan generasi muda. Awal penciptaan Nyantrik ditujukan untuk menyampaikan muatan tradisi dalam bahasa hari ini. Fragmen-fragmen dalam epos Mahabrata dan Ramayana yang sarat akan nasihat bijak dibungkus dengan kemasan yang menarik dan menghibur dengan perpaduan teknologi visual, namun masih dalam sentuhan seni klasik. (Tim Ditjen Kebudayaan, Editor: Denty)
Sumber :
Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 63 kali