Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan » Republik Indonesia
Selain SAKAT, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikburistek) juga menyelenggarakan pemberian Penghargaan Sastrawan Muda Mastera, Sidang Ke-27 Mastera, serta Forum Penulisan Sastrawan Tamu/Asuhan Mastera.
Salah satu pembicara asal Indonesia yakni Maman S. Mahayana menjabarkan, dalam kaitannya dengan alih wahana karya sastra Mastera bagi dunia internasional, maka langkah yang efektif dan strategis dapat dilakukan pemerintah melalui (Badan Bahasa) atau Dewan Bahasa dan Pustaka dengan menyelenggarakan sayembara, lomba atau peraduan alih wahana puisi ke cerpen, cerpen ke puisi, cerpen ke podcast (siniar), novel ke puisi, cerpen ke drama, cerpen ke film karya-karya agung di masing-masing negara. Alangkah baiknya jika upaya tersebut melibatkan pelajar maupun mahasiswa.
“Dengan cara ini, para peserta lomba “dipaksa” akan membaca karya-karya dari khazanah kesusastraan yang ada, berusaha memahami makna dan pesannya, dan menerjemahkannya kembali sesuai dengan tuntutan alih wahana. Misalnya, cerpen “Uda dan Dara” dialihwahanakan ke dalam bentuk dramatisasi dengan durasi 8—10 menit dan kemudian mereka mempublikasikannya di sosial media melalui kanal Youtube atau kanal lainnya,” jelasnya di Jakarta, Rabu (20/9).
Selain Maman, pemakalah lain yang menjadi pembicara pada sesi pleno panel pada gelaran SAKAT tahun 2023 adalah Yulianeta dari Indonesia, Dayang Haji Aminah bin Haji Momin dan Mohamed Zefri Ariff bin Mohammed Zain Ariff dari Brunei Darussalam, Salmah Jan Noor Muhammad dan Encik Zakaria Ariffin dari Malaysia, serta Nuraini Ismail dan Ahmad Ubaidillah dari Singapura.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Bahasa, E. Aminudin Aziz mengatakan bahwa dalam rangka mempromosikan karya sastra Indonesia di forum internasional, Badan Bahasa melakukan strategi 1) menyiapkan peta jalan internasionalisasi sastra Indonesia, baik melalui program BIPA maupun program non-BIPA, 2) membentuk tim kurator dan menentukan karya sastra yang akan dikurasi dengan kriteria “7 Standar Sastra Dunia”, serta 3) untuk program non-BIPA, menggelar pameran karya sastra terpilih melalui kurasi ataupun sayembara.
Selanjutnya, 4) menjalin kemitraan dengan perwakilan Indonesia di luar negeri dan mitra pembangunan internasional, misalnya British Council, JICA, Italiano Institute, UNESCO, lembaga-lembaga dari kawasan Timur Tengah; untuk pemajanan karya-karya sastra Indonesia; 5) melakukan kerja sama dengan unit utama lain di Kemendikbudristek seperti Direktorat Jenderal Kebudayaan dan Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP).
Peran Digitalisasi dalam Upaya Alih Wahana Karya Sastra
Dikatakan Maman, perkembangan dunia digital adalah sebuah keniscayaan. Lewat kemajuan dunia digital, siapapun, dengan latar belakang pendidikan dan profesi apapun, dengan kesadarannya sebagai seniman atau bukan, memiliki kebebasan melakukan apapun di dunia maya.
Cara-cara konvensional, seperti penerbitan buku atau pengiriman puisi ke media massa—majalah atau surat kabar, kini mulai ditinggalkan dan netizen—pengguna sosial media, seperti facebook, twitter, instagram, dan entah apa lagi; lebih banyak memanfaatkan sosial media untuk menunjukkan kreasinya. “Oleh karena itu, jika khazanah sastra negara-negara anggota Mastera hendak diperkenalkan ke dunia internasional, maka tidak dapat lain, para pelaku sastra harus sudah mulai memanfaatkan sosial media,” tegasnya.
Dalam paparannya, Maman mencermati fenomena yang terjadi dalam sejarah alih wahana. Ia mengatakan, ada tiga hal yang melatarbelakangi. Pertama, alih wahana dilatarbelakangi oleh karya-karya agung yang menginspirasi. “Jadi, semangatnya bukan hanya karena popularitas karya-karya itu, tetapi juga karena kualitasnya. Boleh jadi karena kekuatan ceritanya, filosofinya atau estetikanya, bukan semata karena aspek komersial,” ucap Maman.
Kedua, alih wahana dilakukan karena kesadaran seniman yang bersangkutan dalam mengembangkan ide atau gagasannya sebagai bagian dari profesionalitas dalam berkesenian. Maman mencontohkan sebagaimana yang dilakukan Usman Awang dan Sapardi Djoko Damono. “Keduanya merupakan contoh bagaimana mereka meluaskan gagasannya dari puisi, cerpen (novel) sampai drama musikal (film),” terang Maman.
Sementara itu, Usman Awang yang memproduksi puisi, cerpen, drama dan Sapardi Djoko Damono yang memproduksi puisi, musikalisasi puisi, novel, film, dan lain-lain; mengolah karyanya sendiri dan mengalihwahanakannya. “Dalam banyak kasus alih wahana, tidak banyak seniman yang melakukannya sebagaimana yang diperlihatkan Usman Awang dan Sapardi Djoko Damono,” ungkap Maman.
Ketiga, alih wahana dengan memanfaatkan popularitas karya-karya yang sudah ada. Pengalihwahanaan yang terjadi belakangan ini menurutnya, cenderung memanfaatkan popularitas karya yang sudah ada. Sebagian besar alih wahana karya sastra ke film atau sebaliknya, tampaknya cenderung didasari oleh semangat komersial.
Di Indonesia, alih wahana puisi Hujan Bulan Juni ke karya seni lain, boleh dikatakan yang paling masif. Mengingat Sapardi Djoko Damono juga dikenal luas di kalangan anak-anak muda milenial, maka alih wahana yang berkaitan dengan puisi Hujan Bulan Juni, selain paling banyak dicari, juga sangat disukai mereka.
Lebih daripada itu, pengalihwahanaan puisi-novel-film Hujan Bulan Juni dianggap sebagai kebangkitan gerakan alih wahana. Kawula muda milenial Indonesia dengan caranya sendiri, kebebasan kreatifnya, dan semangatnya memanfaatkan dunia digital, mencoba melakukan alih wahana karya seni lain, seperti cerpen ke podcast, puisi ke baca dan pementasan puisi—terutama lewat Youtube, film ke novel, puisi ke film.*** (Penulis: Denty A./Editor: Meryna A.)
Sumber :
Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 30 kali