Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan » Republik Indonesia
Pasalnya, pengembangan, pemanfaatan, dan penguatan ekosistem WTBOS yang terkelola dengan baik akan mampu menjaga situs warisan dunia ini dari eksploitasi energi tambang yang memang ada batasnya.
Temuan potensi deposit tambang batu bara Ombilin pada 1868 oleh Willem Hendrik De Greve membawa harapan baru bagi pemerintah kolonial Belanda. Meskipun lokasinya susah untuk diakses, Belanda bersikeras untuk membangun kawasan tambang batu bara tersebut. Peralatan berteknologi tinggi menjadi tantangan untuk mengeksplorasi deposit batu bara. Diperlukan waktu sekitar sepuluh tahun untuk membangun infrastruktur tambang bawah tanah. Selain keberhasilan dalam mengeksplorasi batu bara di Sawahlunto, sumber energi tersebut juga telah menghidupkan berbagai mesin produksi dan transportasi di daerah lain. Selain menciptakan peluang baru seperti lapangan pekerjaan, profesi baru, interaksi budaya, mobilitas barang dan manusia, keberadaan tambang batu bara Ombilin merupakan contoh dari upaya manusia untuk mewujudkan ide dan gagasan dengan bantuan teknologi bagi kepentingan hidupnya.
Proses pembangunan tambang batu bara Ombilin harus dilengkapi dengan alat transportasi yang dapat membawa keperluan pembangunan tambang, dan juga sebagai alat pengangkut batu bara untuk dikirimkan ke tempat lain. Karena itu, jalur kereta api dari Padang menuju Sawahlunto mulai dibangun pada 1887. Jalur yang harus dibangun tidak sesederhana jalur rel di tempat lain. Kontur tanah, terutama di Kawasan Lembah Anai, memiliki tingkat kecuraman yang ekstrem. Diperlukan konstruksi yang luar biasa dan juga mesin lokomotif bergerigi untuk mengendalikan laju kereta api. Hal ini juga membuat angkutan batu bara dibagi menjadi setidaknya tiga pergantian lokomotif. Dari Sawahlunto hingga Padang Panjang, dilanjutkan dari Padang Panjang hingga Kayu Tanam, dan kemudian dari Kayu Tanam menuju Padang. Pergantian ini disesuaikan dengan kemampuan kereta api yang dapat menempuh jalur yang ada.
Di Silo Gunung, Padang, batu bara dibongkar dari rangkaian kereta untuk dimuat ke kapal di Pelabuhan Teluk Bayur (Emmahaven). Di kawasan ini dibangun silo yang dijadikan sebagai tempat bongkar muat dan gudang. Selanjutnya batu bara dibawa dengan kapal menuju tempat-tempat lain di Hindia Belanda, atau kemudian Indonesia, dan belahan dunia lain sebagai sumber energi yang menghidupkan industri dan transportasi. Batu bara Ombilin dalam waktu yang cukup lama turut membangun kehidupan dengan sumber energi yang disediakannya.
Sebelum tambang batu bara mulai dieksploitasi, Sawahlunto adalah daerah pertanian. Alih fungsi ini menjadikannya sebagai daerah tambang, kawasan industri yang memiliki karakter sangat berbeda dari sebelumnya. Dari daerah agraria menjadi daerah industri. Konsentrasi penduduk, bangunan-bangunan baru, tata ruang kota, fasilitas umum, menghadirkan perubahan. Berbagai profesi baru juga kemudian dikenal dan digeluti. Transformasi kehidupan yang masif mengubah wajah Sawahlunto menjadi daerah baru yang lebih modern dibandingkan daerah lain.
Sebagai sebuah kawasan tambang, Sawahlunto dibangun dengan berbagai cerita. Nilai ekonomi yang besar dari batu bara diikuti oleh kisah-kisah mengenaskan. Para pekerja tambang terdiri dari para kuli kontrak, pekerja lepas, dan juga para tahanan yang disebut orang rantai. Pekerjaan di dalam lubang bawah tanah yang gelap dan menyesakkan menciptakan berbagai tragedi mengenaskan. Korban berjatuhan. Psikologi para pekerja jauh di bawah tekanan. Mereka yang mencoba melarikan diri dihukum cambuk dan dipenjarakan. Sebagian menjadi contoh bagi yang lain dengan hukuman itu, agar tidak ada yang mencoba untuk melakukan hal yang sama (Erman, 2005). Mereka yang melarikan diri bahkan tidak tahu mereka berakhir di mana, karena mereka tidak kenal daerah lain selain dunia tambang bawah tanah tempat mereka bekerja.
Pengakuan UNESCO terhadap situs ini didasarkan pada dua kriteria nilai universal yang dimiliki oleh WTBOS. Nilai universal itu adalah pertukaran teknologi pertambangan antara Belanda dengan daerah jajahannya dan sebagai contoh dari teknologi tinggi yang dapat mengatasi tantangan ekstrem alam yang dihadapi. Dengan kata lain, pembangunan tambang batu bara Ombilin dan jalur kereta api merupakan sebuah “misi tidak mungkin” yang berhasil ditunaikan.
Nilai universal luar biasa yang dikandung oleh WTBOS pada satu sisi berlaku pada proses pembangunan dan masa eksploitasi tambang batu bara berlangsung. Akan tetapi, ketika tambang batu bara itu sudah berhenti, nilai universal itu tetap menjadi bagian dari sejarah kita. WTBOS menjadi bagian dari tanggung jawab kita untuk memelihara dan memanfaatkannya. Hal ini juga menunjukkan sebuah pelajaran penting bahwa pengembangan dan pemanfaatan WTBOS dan penguatan ekosistem itu sekaligus menyampaikan pesan, bahwa eksploitasi energi tambang ada batasnya. Aktivasi-aktivasi yang dilakukan membuktikan bahwa sesungguhnya energi yang berkelanjutan dan selalu terbarukan adalah kebudayaan. Paradigma seperti ini meyakinkan kita bahwa kebudayaan harus menjadi pertimbangan penting bagi pembangunan dalam bentuk apapun. Kasus WTBOS, misalnya, seharusnya tidak berarti Kota Sawahlunto, atau Sumatera Barat dan Indonesia, berhenti menjadi sumber energi ketika batu bara telah habis. Dengan pendekatan kebudayaan, berbagai kemungkinan keberlangsungan eksploitasi sumber energi itu dapat terus menghidupi masyarakat. Pariwisata berkelanjutan, respon dan penciptaan kreatif, reaktivasi aset, merupakan beberapa contoh pengembangan yang dapat dilakukan.
Pengelolaan Warisan Dunia
Penetapan warisan dunia meninggalkan persoalan pelik. Situs-situs yang ditetapkan harus dikelola dengan baik. Jika tidak, maka UNESCO dapat menurunkan situs-situs tersebut dari data penetapannya. Sementara proses penetapan melalui proses panjang yang mengungkap nilai-nilai universal luar biasa merupakan argumentasi yang telah diakui secara luas. Maka tanggung jawab yang harus diemban adalah mengelola warisan tersebut.
Badan Pengelola menjadi salah satu lembaga penting yang diharapkan dapat menyelamatkan tanggung jawab pengelolaan. Pelepasan atau pengurangan kewenangan pemerintah daerah, melalui perubahan status penetapan warisan dunia, harus segera ditransformasikan kepada satu lembaga pengelolaan terpadu agar situs warisan dunia dapat tetap terpelihara. Kita dapat belajar dari beberapa situs yang setelah ditetapkan tidak diikuti dengan pengelolaan yang baik. UNESCO mengeluarkan peringatan agar situs-situs yang ditetapkan direspons sedemikian rupa dengan berbagai cara agar tetap dapat terpelihara.
Pengelolaan adalah sebuah bukti bahwa memiliki sistem dan strategi untuk mengemban tanggung jawab pemeliharaan dan pemanfaatan, agar dunia tidak kehilangan situs-situs penting yang berarti bagi kemanusiaan. Sejauh ini, ketiadaan Badan Pengelola untuk mengelola WTBOS merupakan situasi yang sangat dilematik. Di lapangan, masing-masing pihak yang terkait saling menunggu dasar kebijakan apa yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai aktivitas dalam menjaga warisan dunia. Situs tambang Sawahlunto, karena lokasi dan asetnya yang menyatu dengan Kota Sawahlunto, relatif masih terjaga. Akan tetapi, seluruh jalur rel dan properti perkeretaapian yang mencapai 115 km semakin berkurang dan rusak. Kondisi stasiun sebagian besar tidak terawat. Besi-besi rel, sinyal kereta api, mesin dan alat bengkel, dan aksesoris kereta api hilang. Kita harus berperang melawan waktu dengan kondisi memiriskan ini. Langkah-langkah strategis dan praktis perlu dilakukan segera.
Terlepas dari dorongan agar BUMN segera mengampu, saat ini pemerintah melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dan pemerintah daerah yang terhubung dengan WTBOS sedang mengadakan kegiatan aktivasi dan penguatan ekosistem WTBOS. Kegiatan ini berangkat dari kenyataan bahwa WTBOS masih belum mendapatkan respons yang maksimal sejak penetapannya sebagai warisan dunia.
Aktivasi yang sedang berlangsung berisi sejumlah agenda, yaitu dialog warisan budaya, pameran WTBOS, seminar, penciptaan kreatif sebagai respons terhadap WTBOS, pertunjukan seni tradisi dan modern, kajian dan pemetaan objek pemajuan kebudayaan dan cagar budaya, hingga pembangunan website untuk penyebarluasan informasi. Setidaknya, melalui aktivasi ekosistem WTBOS ini dapat dirangkum sejumlah pola kegiatan yang dapat diadopsi pada masa yang akan datang. Penetapan WTBOS perlu diikuti dengan rencana aksi yang betul-betul melibatkan daerah-daerah yang terlibat, termasuk masyarakatnya. Karena itu, sebuah desain besar harus diciptakan badan pengelola sebagai panduan dalam pengelolaan pada masa depan.
Belajar dari kondisi dan potensi yang ada pada WTBOS, pengelolaan warisan budaya di Indonesia secara keseluruhan perlu mendapatkan perhatian. Berbagai program pencatatan warisan telah dilakukan. Warisan budaya takbenda, misalnya, setiap tahun dilakukan penambahan melalui sidang penetapan nasional. Demikian juga dengan cagar budaya, yang melalui mekanisme pengusulan dan penetapan terus bertambah. Beberapa warisan yang penting secara universal, baik yang berwujud maupun takbenda, diusulkan ke UNESCO sebagai warisan dunia, atau warisan ingatan dunia. Proses pencatatan warisan dan cagar budaya, merupakan satu langkah pelindungan yang penting untuk dilakukan, terutama dalam penyusunan identifikasi dan narasi yang melalui sejumlah tahapan untuk menjaga objektifitas dan kesahihannya.
Jika ditelusuri di lapangan, masih tersebar luas warisan budaya yang belum terungkap. Baik warisan budaya yang ada dalam koleksi masyarakat maupun berbagai situs yang tidak jelas pemilik dan pengelolanya. Gerakan yang pernah dilaksanakan secara masif oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, seperti pamong budaya, penggerak desa pemajuan budaya, penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah, merupakan contoh upaya implementasi yang baik dari strategi kebudayaan nasional. Langkah berikutnya yang dapat berdampak pada penguatan ekosistem kebudayaan secara menyeluruh adalah memperkuat tata kelola kegiatan, data, pencatatan, dan praktik baik kebudayaan, di mana hal-hal tersebut bukan hanya menjadi tangung jawab pemerintah pusat dan daerah, tapi juga seluruh elemen masyarakat yang berkepentingan untuk melestarikan warisan budaya. Karena sesungguhnya energi yang berkelanjutan dan selalu terbarukan adalah kebudayaan. (Penulis: Sudarmoko / Editor: Stephanie W. / Denty A.)
Sumber :
Penulis : Pengelola Siaran Pers
Editor :
Dilihat 138 kali