Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan » Republik Indonesia
Denpasar, Kemendikbudristek –
Pendidikan formal yang diseimbangkan dengan penyaluran bakat dan minat merupakan salah satu komponen dalam menciptakan generasi yang unggul. Namun, tidak dapat dipungkiri, lebih banyak peserta didik yang diarahkan untuk fokus mengenyam pendidikan formal saja. Hal ini merupakan tantangan bagi anak yang memiliki kecerdasan non-akademik yang tinggi. Banyaknya kesibukan di luar sekolah membuat mereka merasa sekolah formal adalah sebuah kekangan, sehingga menjadikan fleksibilitas waktu belajar adalah suatu hal yang sangat dicari.Hal ini mengetuk hati Yekti Wulan Cahyani, Direktur sekaligus pendiri Homeschooling Primagama (HSPG) Bali atau Sekolah Rumah Primagama Bali, yang merasa pendidikan adalah hak setiap anak. Menurutnya, jika anak tidak bisa dilayani di sekolah formal maka sudah saatnya ada alternatif sekolah informal untuk memenuhi kebutuhan edukasi bagi anak. Melalui berbagai riset, Wulan memutuskan untuk mengembangkan sekolah informal yang memfokuskan tidak hanya pada pendidikan tetapi juga keterampilan bakat.
“Saya banyak berdiskusi dengan Kak Seto, sepertinya pendidikan masa depan itu seperti ini, setiap anak itu unik dan keunikan anak itu harus tetap terjaga, tidak menggeneralisasi yang justru dapat membuat kompetensi mereka hilang,” ujar Wulan saat ditemui di Kantor HSPG Bali pada (15/11).
HSPG Bali merupakan Pusat Kegiatan belajar Masyarakat (PKBM) yang keberadaannya sah, diakui, sama dan sederajat dengan sekolah formal sesuai yang tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 129 Tahun 2014.
Wulan menekankan pentingnya mencari potensi anak agar mereka dapat belajar dengan efektif sesuai dengan implementasi Kurikulum Merdeka yaitu pembelajaran terdiferensiasi, artinya substansi yang diajarkan sama tapi targetnya berbeda. “Jika ada anak yang kemampuannya hanya 4, tidak mungkin kita paksa menjadi 8, di situlah kami mencari potensi dan keunikan mereka dan kami bantu kembangkan sehingga menjadi kekuatannya mereka,” tambah Wulan.
Grace, seorang siswa kelas 12, menceritakan pengalamannya mengenai dukungan pengembangan bakat yang dilakukan sekolah. “Guru tidak meremehkan apa yang kita suka, di sini saya diizinkan untuk menunjukan bakat saya. Saya memang suka berbicara di depan umum dan guru di sini menyadari hal itu dan mendukung saya. Saya disarankan ikut bermacam-macam lomba sehingga saya menyadari ini adalah bidang yang saya sukai,” serunya.
Fleksibilitas waktu belajar juga menjadi latar belakang hadirnya Sekolah Rumah Primagama Bali, mengingat banyaknya siswa yang menghabiskan lebih banyak waktu dalam pengembangan bakat mereka sehingga keluwesan waktu terasa sangat membantu mereka untuk tetap mendapatkan pelajaran.
“Dengan waktu yang fleksibel, saya bisa belajar di pagi hari, baru kemudian saya mengajar surfing di siang hari. Jadi saya bisa menjalankan minat saya tanpa meninggalkan edukasi sehingga semua bisa seimbang,” ujar Koldo, salah seorang siswa kelas 12 HSPG.
Gio, seorang siswa pemenang medali emas Olimpiade Nasional bahasa Inggris yang juga seorang musisi, ikut menambahkan, “Waktunya sangat bisa disesuaikan, ada saatnya saya harus pentas jam tiga sore, saya bisa merubah jadwal belajar menjadi jam dua belas siang, sehingga saya tetap bisa pentas dan tidak ketinggalan pelajaran’, jelasnya.
Hal setara juga disampaikan Sindra, guru bahasa Inggris di Sekolah Rumah Primagama Bali, mengenai manfaat yang dirasakan dari fleksibilitas waktu yang dihadirkan HSPG. “Saya memiliki passion dalam mengajar, tetapi sebagai ibu rumah tangga, saya berpikir akan sulit jika saya harus mengajar pada waktu yang sudah ditentukan, adanya HSPG dengan sistem waktu yang fleksibel membantu saya untuk tetap dapat menyalurkan passion dan ilmu saya dan di waktu yang bersamaan tidak meninggalkan kewajiban saya sebagai ibu rumah tangga,” ujarnya.
Saat ditanya tentang dukungan pemerintah, Wulan mengaku HSPG Bali mendapatkan bantuan berupa dampingan dari Pusat Kurikulum dan Pembelajaran (Puskurjar) dalam penyusunan Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (KOSP) yang juga terdaftar dalam Platform Merdeka Mengajar (PMM).
“Platform Merdeka Mengajar membantu kami dalam berbagi ilmu dan kami juga telah mengimplementasikan Kurikulum Merdeka jalur Mandiri Berbagi sejak dua tahun lalu. Kami juga menjadi pilot project untuk KOSP yang didukung oleh Kementerian melalui Puskurjar”, jelas Wulan.
Terdapat tiga muatan lokal yang dijadikan HSPG sebagai pilot project mereka, yaitu mengajarkan peserta didik membuat lawar khas Bali yang sarat filosofi, mengangkat isu sampah melalui Eco Enzym, dan budaya hidroponik sebagai jawaban dari kurangnya lahan untuk bercocok tanam.
Selain itu, sesuai dengan tujuan Kemendikbudristek mengenai perluasan akses pendidikan bermutu bagi peserta didik yang berkeadilan dan inklusif, HSPG juga mendukung penerapkan inklusivitas dalam program belajar mereka.
“Kita menerima siswa berkebutuhan khusus dan menerapkan kurikulum khusus yaitu Kurikulum Bina Diri yang berfokus pada kemampuan anak untuk tahu dan mengerti mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak. Selanjutnya kami akan melakukan penilaian kemampuan sebelum akhirnya kami arahkan peserta didik berkebutuhan khusus ini ke kelas akademik,” jelas Wulan.
Pendidikan berbasis bakat dan minat bukan merupakan ide yang baru. Merdeka Belajar yang lahir untuk menciptakan peserta didik yang berjiwa merdeka, serta tidak merasa dikekang oleh ketentuan dan peraturan dalam pembelajaran sehingga mereka dapat menemukan potensi dan kemampuan diri masing-masing adalah salah satu pondasi dalam pendidikan berbasis bakat dan minat yang diemban Sekolah Rumah Primagama Bali.
“Ketika seorang anak berada di jalur yang tepat sesuai bakatnya dan diberi ruang untuk mengembangkan bakatnya, mereka jauh lebih bahagia sehingga proses belajar lebih efisien dan harapannya mereka menjadi berdaya di masyarakat,” tutup Wulan.
Sumber :
Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 80 kali