Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan » Republik Indonesia
Jakarta, Kemendikbudristek –
Dalam menangani permasalahan kekeran seksual di perguruan tinggi, Satuan tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) perlu memiliki keterampilan nonteknis seperti empati. Rasa empati inilah yang akan membantu mengarahkan satgas untuk bertindak dengan perspektif korban.Demikian disampaikan Indra Budi Setiawan dari Tim Pencegahan Kekerasan Seksual, Pusat Penguatan Karakter. “Diharapkan orang-orang yang terlibat di dalamnya (Satgas) memang orang-orang yang bisa berpihak kepada korban,” terang Indra.
Menurut Indra, adanya Satgas dapat membantu korban pelecahan seksual sehingga korban merasa aman menceritakan masalahnya. Rasa aman ini juga yang akan menjembatani komunikasi Satgas dengan korban untuk menggali permasalahan yang dihadapi korban.
“Menjadi Satgas harus besar empati, energi dan fokus, sehingga dapat memberikan energi positif kepada penyintas dalam mengendalikan emosi korban,” terang Indra.
Lebih lanjut, ia mendorong agar di setiap universitas, politeknik dan institut dapat mendapatkan pelayanan Satgas PPKS. Hal ini agar semua civitas akademika merasa aman karena ada wadah yang menampung permasalahan kekerasan seksual dan bertindak dengan mekanisme yang adil.
Narasumber berikutnya, Subkoordinator Tim Anti Kekerasan Seksual Shara Zakia Nissa memberikan pemahaman lebih mendalam tentang PPKS. Tujuannya agar semakin banyak orang yang memahami implementasi PPKS. Dalam penjelasannya, Shara menyampaikan bahwa penanganan kekerasan seksual utamanya mengedepankan perpektif korban agar Satgas dapat menggali permasalahan korban.
Narasumber terakhir yakni Annisa Dwi, mengatakan bahwa kekerasan seksual dapat menyerang psikologis seseorang sehingga berakibat stres. Lebih parah lagi, korban yang merasakan perlakuan tidak adil dari lingkungan bisa terjebak dalam keputusasaan mental. Contohnya terlihat dari maraknya kasus bunuh diri yang sering ditemui di berbagai wilayah.
“Kita tidak boleh menjudge korban yang memperlihatkan (tampilan) fisiknya yang baik baik saja,” terang Annisa Dwi.
Setiap kasus memiliki karakteristik yang unik maka sebagai Satgas harus bisa mencermati setiap masalah dan memberikan respons yang sesuai. Begitupun dengan tingkat dampak yang diterima korban juga berbeda-beda. “Dampak psikologis merupakan dampak yang tidak terlihat namun tidak berarti bisa dianggap enteng,” tegas Annisa.
Lebih lanjut, Annisa menyampaikan bahwa adanya pendampaingan psikolog dapat membantu meminimalisir kerugian yang dialami korban. Bagi perguruan tinggi yang tidak memiliki jurusan Psikologi, dapat melakukan kerja sama dengan perguruan tinggi atau lembaga lain agar memiliki akses atas pemulihan yang tepat dari sisi psikologi.
Di akhir acara, Subkoordinator Tim Anti Kekerasan Seksual, Pusat Penguatan Karakter, Shara Zakia, menyampaikan pesan untuk seluruh korban kekerasan seksual di Indonesia. “Satgas mampu menjaga dan mengelola kerahasiaan korban dengan baik. Mari teman-teman Satgas, kita tetap semangat berfokus terhadap (penyelesaian) permasalahan korban,” pungkas Shara.*** (Penulis: Amanda Nazmi/Editor: Denty A.)
Sumber :
Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 27 kali